Kamis, 23 April 2009

SERIE PRINSIP MENJADI ENTREPRENEUR


KISAH SOTO LAMONGAN

Semenjak tahun 1995 kami mendirikan sebuah lembaga penyantun yatim dan terlantar didaerah Jati Bening, Bekasi. inilah cikal bakal RUMAH YATIM INDONESIA. Awalnya tempat itu adalah toko swalayan yang saya bangun untuk memenuhi animo kebutuhan barang sehari hari untuk daerah sekitarnya.tahun 1992 hingga tahun 1996 saya memiliki beberapa swalayan yang akhirnya semua swalayan saya dibeli oleh sebuah chain store ternama.


Di tahun 1995 dan tahun-tahun sebelumnya memang kompetitor toko swalayan belum ada, namun sesuai dengan perkiraan saya pemain toko serba ada swalayan akan berkembang, bukan karena takut bersaing saya memindahkan Corporate action dari pasar swalayan ke yayasan yang terkesan idealis menyantuni anak terlantar. Saya melihat jika sebuah yayasan yang non profit tidak berorientasi keuntungan sekalipun, jika dikelola dengan profesional akan menguntungkan???


Menurut saya keuntungan itu tidak melulu berbentuk uang. Ada yang juga tidak kalah penting adalah kekayaan network atau kenalan atau saudara baru atau koneksi. Waktu itu saya percaya di daerah tersebut untuk waktu lama, jika kami menyantun anak terlantar tidak akan mempunyai kompetitor.


Bagaimana bentuk kekayaan bukan dalam berbentuk uang akan saya urai dalam tulisan berikutnya. Yang mau diterangkan dalam tulisan ini adalah Nilai Tambah pada bisnis atau istilah asingnya Value added.


Sebuah strategi dari para pengelola yayasan yang dipimpin oleh seorang reformis muda bernama Muhammad Aly yang tidak pernah mau memakai sorban dan baju koko, yang menggunakn pendekatan egaliter kesetaraan dengan mitra adalah membuat ‘warung soto’.


Suatu hari pak Aly baru datang setelah mudik pulang ke kampung halamannya di Lamongan, ia mendatangi kantor saya dengan ceria. “Mas aku baru pulang kampung! Wah, aku makan soto Lamongan dari saudara sepupuku di pasar lamongan, rasanya luar biasa, lalu aku nawari dia untuk buka cabang di Jatibening yang aku garansi pasti laku”.


Lalu cak Nur (sepupu pak ali) mengizinkan anaknya 2 orang yang sudah mengikuti dan mengerti cara membuat soto untuk berangkat.


“Sekarang saya sedang merapihkan ruang depan yayasan yang sekarang jadi tempat pengetikan komputer”, lanjutnya bercerita.


“Saya kasih AC dan aku rombak seperti warung asli dan aku taruh gerobaknya di depan warung biar kecium aroma soto lamongan dari orang yang lewat dan pangkalan ojek di depan yayasan”, Pak Ali merinci rencananya.


“Modal dari mana pak Ali?” saya bertanya.


“Gak banyak, AC aku nyicil dari temennya mas Wowiek si Amrin tukang kredit barang elektronik kira-kira 70.000 rupiah seminggu dan ongkos rombakan cuma cat aja yang harganya mahal. Kalo untuk tukang, anak-anak yayasan sudah mahir-mahir!” Jawabnya.


Seminggu kemudian 2 anak muda tampangnya lugu datang ke yayasan dan mendemokan masakannya, benar kata pak ali rasanya memang gurih dan wanginya khas.


Setelah mencari sumber-sumber bahan baku ayam, beras dan lain sebagainya dan pak Ali sudah mantap warung Soto dibuka di LA Café-Lamongan Asli café. Harga Rp 3.000 satu mangkok nasi dan soto.


Saya sempat kaget dengan harganya mana untung dagang dengan harga segitu di Jabotabek, “Ini strategi promo nanti akan dinaikan apa bagaimana?” saya bertanya. “


Ya memang segitu”, kata pak Ali mantap.


Dalam waktu 2 jam buka soto habis, demikian esoknya hingga sekarang telah hampir satu tahun. Saya penasaran, ingin mengtahui perkembangan.


Pak Aly menjawab,“Kalau secara materi impas-impas saja, ada untung sedikit, penjualan sehari bisa sampai Rp 400.000an tapi mas tahu nggak? Infaq dan sedekah harian dan bulanan ke yayasan sekarang naik 2 sampai 3 kali lipat.Donatur puas melihat anak-anak melayani dan terharu, banyak anak-anak kita sekarang mendapat orang tua asuh secara pribadi dan mereka ikut memonitor langsung perkembangan anak asuhnya. Itu nilai tambah ‘value added‘ bagi kita dan lingkungan mas!”

Tidak ada komentar: